“Yang tersisa, mungkin hanya rindu yang mengulum waras logika. Ada padamu, kunanti sekaligus kubenci” – Moammar Emka (no.27 hal 50)
“Masihku di sini-sendiri. Menurut bilur-bilur rindu yang tertinggal. Ada padamu, pasti! Dan kuingkari.” – Moammar Emka (no.29 hal.51)
“TUHAN, TEMANIKU DALAM GELISAH INI. ITU SAJA.” – Moammar Emka (hal.52)
“Rindu kesumat. Merajalela di batas angkuh yang mengunci bibir untuk bertanya tentangmu. Apakah kau mengecap rasa yang sama? Andai saja.” – Moammar Emka (no.32 hal.53)
“Meredam kata-kata. Kusapih rindu untuk sementara. Mengendapkannya dalam diam, menunggu perjumpaan menurut nyata. Lalu, menumpahkannya tanpa sisa.” – Moammar Emka (no.37 hal.54)
“Bertahan dalam diam. Membiarkan rindu itu memungut indah dalam kesakitannya. Aku rela.” – Moammar Emka (no.39 hal.55)
“Dalam sadarku, telah kusunting luka. Dalam takutku, berlariku menjauh darimu. Dalam lukaku, ada rindu yang tak padam – untukmu juga.” – Moammar Emka (no.40 hal.55)
Dear you,
Jika Itu Cinta,
Usahlah Ditanya
Lebih karena mencintaimu adalah karunia, aku pun memutuskan untuk tidak mengacuhkan seribu tanya mengapa kemudian memilihmu.
Toh tak ada jawaban yang tepat untuk setiap langkah kakiku yang merindu pulang menuju dirimu. Juga tak ada alasan pasti mengapa aku selalu ingin rebah manja di dadamu. Sudah lama aku berhenti bertanya, berhenti menjawab. Karena semua itu hanya akan membuatku meragu. – Moammar Emka (no.41 hal.56)
“Rindu yang tertanam, bukan pura-pura. Tinggal tunggu waktu saja meluapkannya tanpa sisa, di dekatmu.” – Moammar Emka (no.43 hal.57)
“Rindu dan kamu itu seperti angin. Tak bisa kulihat, tapi kurasakan kehangatan juga kegelisahannya.” – Moammar Emka (no.53 hal.61)
“Membunuh rindu jelas bukan pilihan. Sama saja memutuskan jembatan menuju kebahagiaan bersamamu.” – Moammar Emka (no.60 hal.63)
“Lagi. Ketika diam menengahi langit, ketika kosong hati meliat raga dan pikiran, rindu itu menggugat,lagi.” – Moammar Emka (no.70 hal.65)
Jika boleh memilih, aku membutuhkan rindu sebagai kata keramat yang ingin kudengar dari bibirmu, setiap hari. Seperti berpuluh malam yang kita pahat dengan napas surgawi. Seperti berpuluh mimpi yang kita hias dengan warna pelangi. – Moammar Emka (no.71 hal.66)
“Karena kata hanya perantara, tak bisa seutuhnya. Biarkan rasa yang bicara dari kediamannya, detik ini. Masih. Rindu ini, untukmu.” – Moammar Emka (no.73 hal.67)
“Aku telah jatuh menelan rindu ini. Terlalu sakit, memang. Tapi aku tak jera untuk terus berada dalam jerat kesakitan ini.” – Moammar Emka (no.94 hal.72)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar