~Di setiap tarian luka, kucoba tetap mencetak wajahmu dalam tepekurku.
~Apakah ini atau sebenarnya semu? Luka tetaplah luka. Cinta tetaplah cinta. Tak peduli
seberapa lemah menampar kalam batin.
~Semuanya ada padamu; kuingkari dan tetap kurindu
– Moammar Emka (hal.138)
“Kehilangan itu telah menampar egoku dengan telak. Dan kutersadar, betapa berartinya kebersamaan.” – Moammar Emka (no.6 hal.139)
“Kau buatku meratapi, betapa berharga dan berartinya dirimu – satu-satunya, pasti.”– Moammar Emka (no.7 hal.139)
“Selalu ada rasa enggan untuk mengatakan: aku tak cinta lagi. Entahlah! Segalanya tampak tak pasti. Samar kupandang, jejakmu menilas di jemari pagi.” – Moammar Emka (no.12 hal.141)
“Dan…aku tetap ingin bungkam. Mengingatmu hanya dalam diam. Biar dalam mimpi saja aku berpeluh mengejar bayangmu yang mulai hilang.” – Moammar Emka (no.14 hal.141)
“Setelah perpisahan, menunggu kamu itu tak ubahnya putaran nasib. Mungkin, tidak… mungkin… tidak… mungkin. Biarkan saja, setidaknya aku masih bisa menunggu.” – Moammar Emka (hal.17 no.141)
“Begitu beda, tanpamu. Begitu sepi, tanpamu. Begitu tak bisa dan tak terbiasa aku tanpamu. Yang aku tahu… begitu bahagia aku denganmu. Titik!” – Moammar Emka (no.21 hal.142)
“Seberapa jauh aku bisa bersembunyi tanpa mengingatmu? Sepertinya, aku tak mampu melakukannya.” – Moammar Emka (no.22 hal.142)
34. Sedih tak berujung karena kepadamu senyuman itu ada dan meretaskan bahagia.
35. Menangislah mala mini dan tersenyumlah utnuk bahagia yang kau yakini, esok hari. Ada
untukmu, dan seterusnya kau berhak mencecapnya, yakinku pasti.
36. Mengakhiri tapi tidak benar-benar mengakhirinya. Mungkinkah? Maksud hati melenggang
pergi, apa daya keki merintih perih.
37. TENTANGMU. Melupakan, tak mampu. Menjaga dan menyimpannya rapi di sudut hati, itu
kuasa pilihanku.
40. Kamulah tempatku mengunyah sejarah cinta dan penantian. Bahagia juga luka. Rindu
juga keterpisahan…
– Moammar Emka (hal.145)
“Ketika masa lalu beranjak pergi, sebenarnya kita masih berjalan di sampingnya. Aku dan kamu berdiri di tengahnya.” – Moammar Emka (no.46 hal.149)
“Cinta yang kujaga untukmu seperti bayanganku dalam cermin. Begitu nyata, tapi tak bisa kusentuh.” – Moammar Emka (no.50 hal.149)
“Setengah hati menanti, setengahnya lagi membenci. Menanti rengkuhanmu (seperti dulu), membenci rapuhku (mencintaimu)” – Moammar Emka (no.54 hal.154)
“Ketika pikiran dan hati tak sanggup menampung pilu, menangis tersedu pucuk tibaku.” – Moammar Emka (no.57 hal.154)
“Belajar lagi mencintai kesendirian. Tanpamu di sisiku, berat membukit mata kuliah yang satu ini.” – Moammar Emka (no.69 hal.153)
Seperti Harapan Itu
Dulunya Tidak Ada
Haruskah kita menyalahkan nurani kita yang telah menghempaskan napas kegelisahan untuk setiap tidak acuh yang telah terpendam sekian lama?
Nurani adalah diri kita. Kita tidak dapat berdusta dan membohongi diri sendiri. Biarkan ia mengalir dan mengalir, berkelok dan menyimpan keteduhannya. Keteduhan yang melelapkan sampai ia tiada.
– Moammar Emka (hal.154)
Mungkin lebih baik dengan melenyapkannya. Saling membenci dengan mengingkari nurani kita. Apakah aku terlambat? Ini memang tampak lebih baik. Kita mengakhirinya, tapi tidak untuk memaksa kita mengakhirinya. Biarkan ia hilang dalam kesenyapan masa dengan sendirinya. Seperti harapan itu dulunya tidak ada!
– Moammar Emka (hal.155)
“MASA LALU. Hatimu tertinggal dalam dompet kenangan. Memilah rindumu? TIDAK! Memikirkanmu? IYA, detik ini juga.” – Moammar Emka (no.78 hal.157)
“Bersama melipat hati. Itu yang kita pilih untuk menyudahi penyatuan. Dan genggaman kita pun terlepas di batas perpisahan.” – Moammar Emka (no.87 hal.159)
“Dulu, ada satu keajaiban yang membangunkanku dari ruang hampa, dan itu kamu. Dan aku percaya, aka nada keajaiban kedua. Siapa lagi kalau bukan kamu lagi.” – Moammar Emka (no.90 hal.159)
Begitulah cinta, beginilah cinta
Cinta memang tak pernah salah. Cinta yang semestinya menuntun kita menjadi tiang dan jembatan yang saling seia tanpa syarat, ternyata belum juga mengewantah utuh, lebur dalam diri kita. Selain bersandar pada apa yang kita yakini sebagai cinta, selebihnya kita hanya bisa jalani dan berpasrah dalam doa. Berharga cinta dan penyatuan setia berjalan beriringan di akhir cerita. Tapi jika tidak? Mungkin, semestinya biarkan cinta dan perpisahan bergandengan dengan rahasianya.
– Moammar Emka (hal.161)
“Berulang kali garis batas itu kita putuskan. Berulang kali juga kita pijak kembali di atas pengingkaran” – Moammar Emka (no.93 hal.162)
“Aku selalu berpikir, saat kamu pergi itulah titik. Ternyata, aku salah! Aku masih dalam lingkaran” – Moammar Emka (no.99 hal.163)
“Kita ini lucu. Bersikukuh mengingkari, tapi hati tetap memekikkan rindu. Tak jemu kuteriakkan rindu dengan lantang. Parau suaraku menampar dinding batu. Kamu tetap teguh dalam bisu” – Moammar Emka (no.100 hal.163)
Kenangan Itu, Kita
Tanpa ditulis pun, kenangan tetap serupa buku.
Lembar demi lembarnya selalu terbuka tiap kali
kita mengingatnya. Iya, kita.
Kenangan itu ibarat cermin. Dari bening dan
buramnya, dari utuh dan retaknya, kita berkaca.
Iya, kita.
– Moammar Emka (hal.166)
Jika kenangan kita adalah memar senja, di titik
itulah kita mengingatnya. Iya, kita.
Jika kenangan kita adalah pelangi senja, maka
di tempat kita berdiri sekarang, aku yakin kita
berbahagia. Iya, kita.
Kenangan yang membawa dan menuntun
kita ke masa berikutnya. Sebagai kita yang
dilanggengkan, dan bersama di saat sekarang
atau sebaliknya.
– Moammar Emka (hal.167)
“Jika memang harus berakhir, aku rela. Hanya, inginku akhiri semua ini dengan indah. Seperti kali pertama cinta menghunus ketulusan dalam damba tak bersyarat hingga jejak kita ditebas sang masa” – Moammar Emka (no.117 hal.169)
RUANG TAMU
Kepadamu aku kembali. Akan kuceritakan tentang dia yang tak pernah pergi dari ingatan. …..– Moammar Emka (hal.170)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar